Rabu, 06 April 2011

Ironi praktik hukum di Indonesia yang dialami seorang siswa SMP yang dituduh mencuri Voucher pulsa
( Manusia dan Keadilan)
Andrew / 17110278 / 4KA22 

Sungguh miris hukum di Indonesia ini, bagaimana tidak hukum bisa dibeli atau diatur oleh seseorang yang mempunyai jabatan/kuasa, atau bagi orang-orang yang memiliki uang. Banyak contoh yang dapat kita liat seperti masalah Gayus yang tak ada ujungnya, atau juga para koruptor yang belum ditangkap dan dimasukkan ke penjara padahal sudah jelas terbukti bersalah.
Baru-baru ini ada sebuah kasus yang baru terjadi yaitu Seorang anak mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur karena dituduh mencuri voucher pulsa Rp10 ribu. Ini ironi praktik hukum di Indonesia yang dialami Deli Suhardi (14). 

Pasalnya, kepolisian dalam perkara ini menafikan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam lembaga kementerian dan kepala lembaga tentang Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum, yang berlaku 22 Desember 2009. Keenam kepala institusi tersebut adalah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Komisi Perlindungan Anak, Jaksa Agung, dan Kapolri.

Bahkan, pengabaian SKB berlanjut dengan menolak surat permohonan penangguhan penahanan Deli dari tim penasihat hukum. Kapolsek Johar Baru, Kompol Suyatno, ujar Hendra menolak karena dikhawatirkan Deli melarikan diri. “Padahal, Deli harus mengikuti ujian semester 14 Maret lalu,” tukas Hendra.

Alasan Kapolsek Johar itu menurut tim penasihat hukum tidak beralasan. Mengingat, Deli adalah orang tak punya dan hanya mengandalkan pendapatan ayah yang berprofesi sebagai penarik ojek motor.

Kasus yang membelit Deli berawal saat bersama kedua sahabatnya, Rahmat Wibowo (14) dan Muhamad Luki (14) pulang dari sekolah dan menyaksikan tawuran antarwarga di kawasan Johat Baru , Kamis (10/3) karena merasa takut mereka sembunyi di sebuah konter penjual pulsa. Di sekitar kounter yang sudah dirusak massa yang terlibat tawuran, Deli menemukan voucher kartu perdana telepon senilai 10 ribu yang terletak di tanah. Deli mengambil voucher tersebut dan memberikannya pada Bowo agar disimpan terlebih dahulu. Vouchernya memang sudah jatuh, kounternya saja sudah rusak. Habis ngambil , voucher dikasih ke Bowo. Bowo malah diteriakin maling sama polisi. Kartunya dilempar ke saya, dan saya buang lagi karena saya takut.penjelasan  Luki saat memberi kesaksian di kantor PBHI.

kasus Deli ini dapat menjadi rujukan tentang adanya kontradiksi penegakan hukum. Padahal berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum, seharusnya asas restoratife justice dijalankan.

Restorative justice sendiri berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar